Kritik Puisi-Puisi Karya Chairil Anwar
Kritik Puisi-Puisi Karya Chairil Anwar
Chairil Anwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 – meninggal di Jakarta, 2 April 1949 pada umur 26 tahun), dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku), Ia adalah penyair terkemuka Indonesia. Ia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern Indonesia. Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, di mana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Pusinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.
Puisi yang berjudul “ Jangan Kita Di Sini Berhenti” menjelaskan bahwa seseorang yang telah pasrah, namun tetap memaksa melanjutkan semuanya dengan hal-hal negatif. Sehingga dia sudah tidak perduli dengan kehidupannya lagi.
Puisi yang berjudul “ Yang Terhempas Yang Putus” mengisahkan tentang seseorang yang tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Segalanya telah usai walaupun sebenarnya ia ingin mengungkapannya.
Pada puisi terakhir yang berjudul “Hampa” memiliki arti. Seseorang yang dalam kesendiriannya ia merasa sudah mendekati ajal hidupnya. Ia sendiri menanti dan terus menanti untuk berpasrah meninggalkan dunia ini. Penantian yang berat antara kematiannya.
Belum ada Komentar untuk "Kritik Puisi-Puisi Karya Chairil Anwar"
Posting Komentar